Tiga Fase Imperialisme

Posted by Amar Suteja Senin, 10 Desember 2012 0 komentar
Untuk mengawali proses analisis dalam sistem kapitalisme global perspektif
ekonomi-politik, maka menurut hemat penulis perlu diuraikan mulai dari akar
masalahnya. Berikut ini penulis uraikan sejarah imperialisme yang dipaparkan oleh Noam
Chomsky,1 dan selanjutnya penulis kaitkan dengan logika terjadinya proses sistemik
dalam perspektif ekonomi-politik yang kemudian terjadi masalah sosial dalam era neoliberalisme.
Menurut Noam Chomsky, bahwa sepanjang beberapa dekade imperialisme
telah menjadi bahan perdebatan serius diantara kalangan pemikir dan para pegiat gerakan
revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm dan Vladimir
Lenin adalah diantara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang
meneorisasikan imperialisme. Seorang penggerak revolusi Rusia, Vladimir Ilyich
mengaitkan antara imperialisme dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin,
imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan
kapitalisme. Imperialisme lahir dari suatu krisis kapitalisme dari suatu negeri. Agar
keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru,
mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahanbahan
mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. Dalam pandangan Lenin,
imperialisme dicirikan oleh lima hal, pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk
konglomerasi maupun monopoli; kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri
dan birokrasi; ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi industrial, keempat,
pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan korporasi
transnasional melalui kartel internasional; kelima, pembagian politik dunia oleh negaranegara
maju. Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah meletakkan bangunan
teori imperialisme yang penting dalam perdebatan selanjutnya, utamanya pengaitannya
dengan kapitalisme dan perkembangan kapital finans.

Pendekatan Lenin atas imperialisme ini salah satunya dikritik oleh Samir Amin,
seorang Marxis berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan
tahap, melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya
imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga.
Fase pertama terjadi pada masa ekspansi kapital Eropa Atlantis yang
menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris. Hasil
yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya peradaban Indian,
terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida total atas masyarakat Indian, dimana
negara Amerika Serikat berdiri diatasnya. Penaklukan ini masih dibumbui oleh kehendak
untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama. Imperialisasi tahap pertama ini
pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan seperti pemberontakan kaum budak di
Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba.

Fase kedua terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada
penaklukan Asia dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk berupaya untuk
mencari dan membuka ‘pasar baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil Jhon Rhodes adalah
salah satu figur pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa
kolonialisme Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan
menghindarkan revolusi sosial di dalam negeri. Imperialisme fase kedua ini berakibat
pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus dihadapi oleh dunia
hingga kini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan adalah dua berbanding satu,
maka sejak terjadinya kolonilaisme hingga saat ini rasio ketidaksetaraan ini menjadi
enampuluh berbanding satu, dengan sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa
mengambil keuntungan dari sistem yang terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup
dalam ketidakpastian dan ketidaksamaan sosio-ekonomi secara persisten. Imperialisme
fase kedua ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk
mempertahankan koloninya. Namun juga mengahsilkan berbagai perlawanan yang terus
menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di Rusia dan
China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di negara-negara Asia dan
Afrika.

Kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas
menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang
diantaranya merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis
serta negara kapitalis baru yang muncul pada Abad ke-19 seperti Jerman, Amerika
Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’ ini. Kaum
imperealis ini segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis
mereka sangat tergantung dari berapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi.
Dengan keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya dan memiliki
sumber daya manusia serta tehnologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus
dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni.
Saat ini sedang memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya
sistem Soviet dan rezim-rezim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada dasarnya, tujuan
dari imperealisme fase ini masih sama dengan fase-fase sebelumnya, yaitu untuk
mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan mengekspansi pasar baru, menjarah
sumber daya agraria, dan melakukan supereksploitasi pada tenaga kerja di negara-negara
pinggiran. Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk megukuhkan hegemoni
imperialisme tahap ketiga ini, diataranya dengan menggembar-gemborkan demokrasi,
humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang
bersih dan baik. Tetapi wacana-wacana ini dikerjakan oleh model standar ganda dan
hanya dilakukan demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada
negara-negara pinggiran.

Fase ketiga ini juga berhadapan dengan suatu zaman yang dicirikan oleh
terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi
dengan globalisasi teknologi informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi
seperti: meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dan perdagangan
global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat yang
berbasis jaringan (network sosiety), menguatnya peranan-peranan lembaga keuangan
internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui negara-bangsa,
membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam memandang tatanan
global pada zaman ini. Sebagian mendefinisikan tatanan global ini dengan cara pandang
baru, sembari mendeklarasikan suatu zaman ‘pos-imperealis’. Sementara yang lain
berpendapat bahwa imperialisme tak pernah berakhir, hanya memakai modus baru
dengan motif lama yang tetap sama. Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol
baru.

Dalam perspektif ekonomi-politik imperialisme ini berkaitan erat dengan sejarah
perkembangan kapitalisme dan proses panjang transformasi masyarakat dari masyarakat
feodal ke masyarakat modern, atau sering disebut pada masa kini dengan era globalisasi.
Globalisasi inilah yang kemudian berdampak pada krisis masyarakat kapitalisme.

Baca Selengkapnya ....

Peta Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer

Posted by Amar Suteja 0 komentar
Peristiwa 9/11 mengarahkan perhatian dunia terhadap masyarakat Muslim. Aksi-aksi kekerasan “dituduhkan” kepada organisasi al-Qaidah, yang dianggap sebagai representasi Islam. Berbagai tindakan dilakukan untuk memberantas maupun membendung pengaruh aksi-aksi ekstrem ini. AS bersama sekutunya kemudian melakukan proses “stabilisasi kawasan” melalui penjajahan di Irak dan Afganistan. Penjajahan ini justru melahirkan dampak serius, yakni bangkitnya fenomena International Islamic Front for Jihad against Jews and Crusaders. Kosakataa Jews tentu saja bermuara pada Israel, sedangkan Crusaders ditujukan kepada AS.

Merebaknyaa aksi ‘jihad’ global ini kemudian juga berpengaruh kepada konstelasi Islam Indonesia. Munculnya wacana ‘penegakan Syariat Islam’, Negara Islam Indonesia (corak baru), serta ‘Perda-isasi Syariat Islam’, merupakan pengaruh dari pergolakan yang terjadi di Barat maupun di Timur Tengah. Khusus untuk kawasan terakhir ini memang memiliki pengaruh signifikan bagi kehidupan Islam di Indonesia. Gagasan, pemikiran, dan gerakan yang berkembang di Timur Tengah mudah dikembangkan dan dipraktikkan di Indonesia.[1] Demikian juga dengan gerakan revivalisme Islam kontemporer di Timur Tengah. Lalu mengapa pengaruh kebangkitan Islam di Timur Tengah memiliki pengaruh kuat bagi Islam di kawasan lain? Kenyataan bahwa Islam dilahirkan di kawasan Arab menyebabkan wilayah ini memiliki keistimewaan daripada dunia Islam yang lain. Timur Tengah menjadi sentral dunia Islam, sementara yang lain menjadi pheriferal (pinggiran). Timur Tengah juga memiliki posisi penting dalam sistem spiritual Islam, gerakan dakwah, peradaban, ilmu pengetahuan, dan pengaruh politik.[2] Tak heran jika kemudian Islam yang berada di Timur Tengah terkesan bebas dari sinkretisme dan (dianggap) lebih murni. Efeknya, manifestasi Islam Arab ini dianggap sebagai tradisi Islam yang tinggi (high tradition) yang “harus” menjadi acuan bagi Islam di wilayah pinggiran (Afrika, Asia Selatan & Tenggara) yang terkesan low tradition.

Oleh karena itu, ekspresi Islam yang berkembang di Timur Tengah dengan mudah menyebar ke kawasan lain dan mengglobal. Sebagaimana Barat mempengaruhi dan membentuk budaya belahan dunia lain, Islam Timur Tengah juga mempengaruhi dan mengkonstruk keberagamaan umat Islam di wilayah-wilayah lain. Inilah yang menandai munculnya “Islam Global” yang memiliki karakter Timur Tengah.

Dalam aspek globalisasi “Islam global” ini terdapat aktivitas Islam Politik yang oleh Oliver Roy disebut sebagai “Islamisme”, yakni sebuah gerakan kontemporer yang memandang Islam sebagi ideologi politik.[3] Islam Politik ini pun terbagi dalam kutub besar: Revolutif dan Reformis. Bagi gerbong revolutif, Islamisasi masyarakat mesti dilakukan melalui kekuasaan negara dengan merebut kekuasaan terlebih dulu. Bagi kelompok ini, pendekatan yang dilakukan adalah non-koperatif dengan penguasa dan menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan Islam. Sementara kutub reformis tampak lebih moderat. Tindakan politis dan sosial mereka bertujuan reIslamisasi masyarakat dari bawah ke atas (bottom up), yang dengan sendirinya akan mewujudkan Negara Islam. Perbedaan kedua kutub ini bukan terletak pada hakikat perlunya Negara Islam. Mereka sepakat pada kemestian iqamat al-dawlah al-Islamiyyah (pendirian Negara Islam). Perbedaannya terletak pada cara pencapaiannya dan sikap penerapannya berkaitan dengan kekuasaan yang ada. Apakah menggunakan cara penghancuran, oposisi, kolaborasi, atau ketidakpedulian (apatisme politik).

Jika dipetakan secara sederhana, konstelasi gerakan Islam bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

Pertama, kelompok “jihadis” yang menyerukan perlawanan dalam skala global terhadap Barat (AS dan sekutunya). Dalam hal ini diwakili oleh al-Qaidah dan jaringannya; Jamaah Islamiyyah di Asia Tenggara, Abu Sayyaf di Filipina, Taliban di Afganistan, Lashkar e-Tayyiba di Pakistan, AQAP di kawasan Teluk, as-Syabab dan Boko Haram di wilayah Afrika (Somalia & Nigeria). Kelompok ini, sungguhpun kontroversial, memiliki jaringan bawah tanah yang rapi, hierarki dengan sistem sel-terputus, dan mendapat simpati dari sedikit kaum muslimin. Meskipun Usamah bin Ladin telah dibunuh oleh tentara AS, namun gerakan ini masih merepotkan AS dan sekutunya. Di bawah komando Ayman Azzawahiri yang kurang memiliki kharisma kuat seperti Usamah, al-Qaidah masih tetap berbahaya. Serangan-serangan yang dilancarkan, sebagaimana biasa, sporadis dan membabi buta.

Kedua, kutub revolusioner lokal-regional. At-Takfir wal Hijrah (Jamaah al-Muslimin) di Mesir, Hizb al-Da’wah al-Islamiyyah di Irak, MILF di Filipina, dan Hizbut Tahrir di Yordania (yang kemudian mengglobal). Ciri khas kelompok ini: militant, indoktrinasi bahwa penguasa adalah taghut, serta penggunaan cara-cara kekerasan jika dipandang perlu. Di sayap Syiah, ada Mujahidin el-Khalq di Iran serta Hizbullah di Lebanon. Kelompok ini berusaha membebaskan kaum muslimin dari dominasi Barat. Adapun varian kecil seperti Jihad Islam dan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah (HAMAS) di Palestina bergerak pada aspek kemerdekaan.

Ketiga, kelompok revivalis-evolutif. Kelompok ini tumbuh subur di negara-negara Arab maupun negeri muslim. Kegagalan rezim di masing-masing negara dalam mewujudkan kejayaan dan kemakmuran dituding akibat ideologi dan sistem sekularisme, demokrasi, sosialisme, yang bertentangan dengan Islam. Maka mereka mengajak kepada rakyat dan pemerintah agar kembali menjalankan sistem Islam(i). Islam ditempatkan sebagai ideologi alternatif bernegara. Adapun para ideolog gerakan revivalisme Islam antara lain: Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Said Hawwa, Abu al-A’la al-Maududi, Imam Khomeini, Muhammad Baqir Sadr, Abdussalam Farq, dan Juhaiman al-Utaibi. Meski dalam beberapa aspek terjadi perbedaan pemikiran gerakan Islam, namun ada benang merah yang membuat pemikiran mereka sejalan, antara lain: al-din wa al-dawlah (integralistik), fondasi Islam adalah al-Qur’an dan Assunnah, puritanisme Islam dan keadilan sosial, kedaulatan hukum Allah berdasarkan syariat, serta jihad sebagai pilar menuju terlaksananya syariat Islam. Jihad ini musti dilakukan dengan komprehensif, jika perlu dengan cara kekerasan.[4]

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, sayap radikal-revolusioner tidak benar-benar mampu mewujudkan cita-cita idealnya. Mereka selalu terbentur dengan represi yang dilakukan oleh pihak penguasa di satu sisi, dan tidak memperoleh dukungan signifikan dari rakyat karena melegalkan cara-cara kekerasan. Hingga akhirnya terjadi semacam “clash” internal di tubuh gerakan Islam Politik ini. Di satu pihak ada yang tetap berjuang dengan menggunakan kekerasan, di pihak lain terdapat kesadaran agar meninggalkan cara-cara kekerasan dan beralih ke metode yang lebih elegan: yakni lebih ke arah pendidikan dan sosial, serta mulai menjauhi politik. Hal ini tampak tatkala Saudi Arabia, yang phobia terhadap gerakan radikal yang mengancam stabilitas negaranya, menyeponsori gerakan dakwah melalui program bantuan beasiswa pendidikan, sosial, serta penyebaran buku-buku madzhab bertema “kembali ke al-Qur’an dan Assunnah”. Proyek ini dilakukan oleh Saudi Arabia sejak tahun 1980-an. Mereka tentu saja khawatir jika revolusi Islam ala Iran terjadi di negaranya. Akhirnya, proyek ideologi revolusioner dalam merombak tatanan keummatan melalui aspek “top down” (mengubah sistem dan ideologi negara melalui jalur politik) digantikan dengan target “bottom up”, yakni dengan cara mengubah moralitas dan nalar ummat melalui sosial, ekonomi dan pendidikan.[5]



Fenomena Neo-Khawarij Indonesia

Reformasi 1998 yang membuka kran demokratisasi, juga memiliki implikasi lebih luas, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok eksklusif yang memperkeruh ukhuwah Islamiyah dengan melakukan aksi pembusukan kaum muslimin dari dalam. Baik dilakukan dengan tindakan ekstrem (bunuh diri, misalnya), maupun hanya sebatas “dakwah dengan cara radikal-militan”. Dakwah secara radikal-militan inilah yang seringkali salah ditafsirkan serampangan dengan cara memusyrikkan dan mengkafirkan saudara-saudara seiman yang tak sepaham dengan mereka.

Sungguhpun kelompok radikal ini memiliki beragam varian organisasi, namun ada empat cirikhas yang melekat pada kelompok ini. Pertama, fanatik terhadap pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain. Pola pikir yang keras di antara mereka tak jarang berujung pada pemaksaan pemahamannya sehingga berujung pada kekerasan pula. Kedua, memahami teks agama secara harfiyah, misalnya, dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat mengenai ayat perang tanpa mengindahkan tujuan dan sebab turunnya ayat tersebut. Ketiga, mereka biasanya berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam perspektif mereka, segala sesuatu yang tidak berlandaskan syariah adalah haram. Keempat, mereka sangat mudah sekali mengkafirkan orang lain atau pemerintah. Nah, faktor terakhir inilah yang membahayakan, sebab poin ini dijadikan alasan dan legitimasi pengeboman yang terjadi di Indonesia. Jika seseorang telah (dianggap) kafir, maka kekerasan atau pertumpahan darah, adalah “diperbolehkan”.

Poin-poin di atas, secara sekilas bisa mengingatkan kita pada ekstrimis Khawarij yang hidup beberapa abad silam. Secara organ gerakan, kelompok ini telah punah, tetapi secara pemikiran dan ideologi, Neo-Khawarij dengan pola gerakan yang lebih canggih telah menjadi orok yang membahayakan Islam sendiri.

Dan, berdasarkan pola pergerakannya, pemahaman kelompok-kelompok eksklusif ini bermuara pada Muhammad Ibn Abdil Wahab. Sosok kunci yang menjadi arsitek revolusi pemahaman keagamaan masyarakat (yang berdarah-darah) di Tanah Hijaz, yang efeknya diekspor ke luar negeri melalui berbagai cara dengan dukungan dana melimpah dari kerajaan Saudi pada era sekarang. Dalam konteks internasional, dukungan dana yang melimpah ini membuat dakwah Wahabi kian militan, sistematis, dan dogmatis.

Proses ekspor paham ini memang lebih dahsyat setelah terjadinya booming efek emas hitam (baca:minyak) sejak tahun 1970-an. Di Indonesia, gejala ini bisa ditangkap pasca reformasi 1998, dimana terdapat masjid atau pesantren “tiban” (tiba-tiba ada). Masjid atau pesantren yang dibangun oleh orang luar (bukan penduduk desa), cepat berdiri karena dukungan dana melimpah, serta mengajarkan Islam yang berbeda dengan paham keIslaman masyarakat sekitarnya. Santri penghuninya pun “drop-dropan” dari luar daerah. Mereka cenderung eksklusif dan menutup diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitar. Kasus terbaru pesantren model demikian adalah yang “pesantren” Umar Ibn Khattab yang ada di Lombok, yang tempo hari terbukti mengajarkan “kekerasan” kepada segelintir santrinya. Sebagai “garis keras”, pesantren seperti ini juga mengharamkan hormat kepada bendera, haram memakai (sebagian) hukum Indonesia karena dinilai hukum kufur, serta tak wajib taat kepada pemerntah RI yang dinilai sebagai thaghut (setan), pencangkokan ajaran Islam yang tanpa dikontekstualisasikan dengan realitas sosial, serta seringkali terjebak pada “alienasi” kebenaran (kelompok ini merasa terasing karena dirinya “benar”).

Pemahaman seperti ini akhirnya tak melahirkan apa yang kita sebut sebagai tanwir al-‘uqul (pencerahan akal) dan tanwir al-qulub (pencerahan hati), dua pemahaman yang komprehensif, sublim, dan subtil untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama. Pemahaman keagamaan seperti di atas hanya akan melahirkan sikap ekslusif, mengklaim kebenaran sendiri, dan sering menyalahkan mereka yang tak sepaham dengan dirinya



Dari Radikalisme ke Terorisme

Setiap muslim selayaknya berIslam, beriman, dan berihsan secara fundamental. Maksud saya, jika hal ini dimaksud dengan makna “fundamental” yang dalam KBBI diartikan sebagai “bersifat dasar (pokok), atau mendasar”. Namun lain halnya jika fundamental ini kemudian dinisbatkan pada gerakan atau paham, sehingga fundamentalis akan menjadi sebuah “isme” yang kerapkali membuat orang bersikap “marah”, bukan “ramah” terhadap orang lain. Sikap ini akan melahirkan radikalisme, dan radikalisme membidani sikap teror(isme) dalam berbagai wujudnya, baik psikis maupun fisik.

Dunia terorisme di Indonesia, jika diamati, sulit diberantas karena dua faktor; pemahaman dan interpretasi teks suci yang dilakukan secara serampangan, yang didukung kondisi ekonomi, sosial, politik di Indonesia yang masih labil. Faktor lainnya adalah pihak aparat masih menerapkan pendekatan kekerasan dalam memberantas aksi terorisme berkedok agama. Sungguhpun metode ini berhasil, namun efek yang dihasilkan tak kalah mengerikan. Bibit-bibit teroris muncul bak jamur di musim hujan, mereka ditempa di organisasi bawah tanah yang menggunakan metode penggemblengan melalui brainwashing, perekrutan terbatas, penggunaan sistem sel, yang didukung logistik memadai. Ironisnya, para perekrut gerakan ini di antaranya, adalah bekas-bekas narapidana tindak terorisme. Terbukti, jika penjara tak membuat mereka jera, tapi malah membuat mereka lebih canggih (karena selnya pun ditempatkan bersama-sama dengan terpidana terorisme lainnya).

Garis besar pemahaman saudara-saudara kita ini adalah sikap ghuluw (ekstrem) dalam beragama, jumud (statis) dalam sikap beragama, serta harfiyah dalam pemaknaan nash. Lebih ekstrem lagi, sekte ini terlibat dalam penyebaran virus takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi’ (pembid’ahan), dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Jadi, kalau banyak para du’at (dai) dan umat berusaha mengIslamkan mereka yang belum bersyahadat, kelompok ini malah memusyrikkan, dan bahkan dengan enteng mengkafirkan umat yang sudah bersyahadat.

Ada beberapa hal yang menarik bagaimana kelompok ini “mengembangkan sayapnya” melalui proses “marketing” yang bombastis. Pertama, penggunaan istilah-istilah yang “wah” untuk memompa ghirah kaum muslimin. Istilah Jihad, Ijtihad, Syahid, Penegakan Syariat Islam, dll, saya setuju, asal dipergunakan sesuai dengan konteks masing-masing, dan dipergunakan secara proporsional. Jika tidak, penggunaan istilah-istilah mulia ini malah mereduksi dan menjadi antiklimaks dengan tujuan sebenarnya. Potongan Surat al-Maidah ayat 44, “waman lam yahkum bimaa anzala Allaahu faulaa-ika humu alkaafiruun” Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah : 44), seringkali dipakai untuk menjustifikasi kebenaran versi mereka untuk mengkafirkan orang lain. Padahal ayat inilah yang dulunya menjadi slogan Khawarij, yang setelah dimodifikasi menjadi berbunyi La Hukma Illa Lillah. Menurut al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, yang pertama kali mengucapakan semboyan itu adalah seorang laki-laki dari Bani Sa’ad bin Manat bin Tamim, dari kalangan Bani Tamim yang bernama al-Hajjaj bin Ubaidullah yang dikenal dengan julukan al-Barq.[6] Abdullah Ibn Umar, ikut mensifati kelompok Khawarij engan meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw. yang berbunyi: “Mereka yang menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”

Lebih lanjut saya jadi ingat dengan komentar Sayyidina Ali kr., “Kalimat benar tapi disalahgunakan (kalimatu haqqin urida biha bathilun), saat menantu Baginda Rasulullah ini melihat kelompok Khawarij membuat semboyan La Hukma Illa Lillah (tidak ada hukum selain dari Allah). Sebuah slogan yang sangat menarik dan memikat namun dipakai untuk menghalalkan darah mereka yang tidak sepaham dengan paham kelompok radikal tertentu di Indonesia.

Kedua, melalui proses “labelisasi” dan mistifikasi. Labelisasi di sini terjadi saat sekte ini menisbatkan amaliah mereka kepada generasi Salaf, yang kemudian dipakai simbol sekte ini menyebut diri sendiri, yang secara tak langsung menjustifikasi bahwa kelompok di luar mereka bukan bagian dari pengamal ajaran Rasulullah dan salafus shalih. Sedangkan mistifikasi terjadi tatkala mereka mengagungkan Muhammad Ibn Abdil Wahab sebagai mujaddid, pemberantas kemusyrikan, penegak kalimat tauhid, dll.

Dengan paparan singkat di atas, ada catatan akhir yang hendak saya sampaikan, bahwa fenomena militansi gerakan Islam disinyalir karena terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, pendidikan, dan politik atas kelompok Islam, di samping euphoria politik otonomi yang tengah melanda negeri ini. Oleh sebab itu, saya kira masa depan umat Islam Indonesia memang tergantung pada gerakan Islam moderat agar lebih santun dalam berwacana dan beretorika pada publik, dengan mengedepankan masalah-masalah yang riil dihadapi masyarakat Islam Indonesia ketimbang menghadirkan masalah-masalah yang tampak abstrak dan tidak terjangkau. Sebab disitulah umat Islam masih menghendaki Islam yang mampu menjawab masalah riil di Indonesia.


[1] Latarbelakang berdirinya Muhammadiyah, NU, PKS, serta Hizbut Tahrir Indonesia, juga memiliki keterkaitan historis dengan perkembangan politik-ideologis di Timur Tengah. Genealogi keilmuan Islam di Tanah Air, khususnya pesantren, juga memiliki keterkaitan erat dengan jaringan ulama Timur Tengah. Selengkapnya lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: kencana, 2005); Abdurrahman Mas’ud, Dari Haromain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006)


[2] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga Press, 2005), 81-82.


[3] Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: serambi, 1996), 29.


[4] Shireen T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), 14-15.


[5] Sebagai negara monarki tradisional yang menjadi sekutu utama AS, wajar jika Saudi Arabia khawatir dengan gerakan demokratisasi yang terjadi di kawasan Teluk maupun Afrika semenjak 2011. Gelombang Arab Spring yang melanda Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, hingga Suriah, cukup membuat Saudi Arabia pening. Namun dukungan AS dan sekutunya terhadap eksistensi Saudi Arabia menjadi jaminan bahwa negara ini tak akan dilanda gelombang musim semi Arab sebagaimana negara tetangganya. Konstelasi politik Timur Tengah yang sangat rumit ini disikapi oleh Saudi Arabia dengan melakukan proteksi; menghapus Israel dari musuh utama, memberi pasokan persenjataan kepada gerilyawan Suriah, membeli peralatan tempur mutakhir kepada AS, dan terus menjaga hubungan baik dengan AS.


[6] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 117.


[7] Zuly Qodir, ”Pemikiran dan Gerakan Islam Indonesia Kontemporer : Kategori dan Karakteristik”, makalah disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies, 2006.

Baca Selengkapnya ....

Lawan penghianatan penguasa atas darah juang pahlawan

Posted by Amar Suteja 0 komentar
Ketika melihat pemberitaan media akhir-akhir ini, baik elektronik maupun cetak. sebagian besar dari kita mungkin akan langsung berpikir bahwa pemerintah tidak lagi pro rakyat. lihat saja pembahasan media yang saat ini banyak mengulas polemik RUU KAMNAS. ditengah segala persoalan korupsi dan permasalahan kesejahteraan rakyat. pemerintah malah mengajukan sebuah RUU yang urgensinya belum jelas. banyak sekali kejanggalan yang terdapat di dalam RUU ini. walaupun pasal di dalam RUU ini sudah di susutkan.

Pasal penangkapan dan penyadapan dan pasal yang dianggap berbahaya memang sudah ditiadakan. Tapi ternyata masih banyak pasal-pasal krusial yang harus dicermati betul, Misalnya pada pasal 14 ayat (1) yang memungkinkan darurat militer dapat dilakukan bila ada kerusuhan sosial. pasal ini melampau ketentuan dan hukum yang ada, seperti UU PKS (Penanaganan Konflik Sosial) dan UU Keadaan Darurat. lihat pula pada pasal 17 ayat (4) tentang ancaman aktual yang hanya bisa diputuskan oleh Presiden. klausul itu dapat menimbulkan distorsi kekuasaan dan menabrak semangat demokrasi seperti sekarang ini.

Ketentuan lain yang jadi persoalan adalah Pasal 22 ayat (1) yang mengatur penyelenggaraan Kamnas dengan mengedepankan peran intelejen. pada pasal ini tidak jelas pelibatan intelijan yang diutamakan itu seperti apa perannya. Apa di era reformasi lantas mengatasi masalah-masalah sosial sudah harus melibatkan intel?.

Selanjutnya, pasal 27 ayat (1) RUU Kamnas juga harus dicermati karena Panglima TNI dapat membuat kebijakan operasi berdasarkan kebijakan Kamnas, sementara dalam pasal sama ayat kedua disebutkan bahwa Polri hanya melaksanakan fungsi kepolisian saja. pasal ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Klausul lain yang patut dicurigai adalah Pasal 32 ayat (2) yang mengatur tentang pelibatan komponen cadangan (komcad) untuk menghadapi ancaman atas keamanan nasional. pasal ini adalah pasal baru yang belum diketahui persis rincinya. Demikian pula dengan Pasal 30 ayat (2) yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengerahkan TNI guna menanggulangi ancaman bersenjata dalam keadaan tertib sipil. Ini juga bertentangan dengan UU Keadaan Darurat maupun UU lainnya.

Terakhir, ketentuan yang ganjil adalah pasal 48 ayat (1) huruf c, yang menyebut komando dan kendali tingkat operasional di provinsi adalah Panglima/komandan satuan. pasal ini sama saja menyatakan bahwa komando tertinggi bukan lagi gubernur atau bupati yang berwenang, tapi di bawah komando dan kendali komandan militer setempat.

daripada membahas RUU KAMNAS yang tidak jelas dan penuh keganjilan, seharusnya pemerintah lebih menaruh atensinya pada persoalan buruh yang urgensinya jelas. selama ini persoalan mengenai regulasi dan peraturan tenaga kerja selalu menemui jalan buntu. seperti persoalan sistem outsourcing. sudah banyak gelombang massa yang protes terhadap aturan outsourcing ini. tetapi pemerintah tak pernah menanggapi dengan serius suara rakyat ini. pemerintah seperti hanya menganggap angin lalu suara-suara dari para buruh yang berteriak-teriak meminta keadilan untuk kesejahteraan mereka.



Dalam kasus outsourcing ini pemerintah terkesan masa bodoh, ini terlihat dari jawaban-jawaban yang terlontar dari pemerintah. ketika para buruh menuntut dihapusnya sistem outsourcing, pemerintah dalam hal ini kemenakertrans, menjawab dengan sederhana bahwa sistem outsourcing tidak akan di hapus karena ada undang-undang yang mengaturnya, yaitu undang-undang no. 13 tahun 2003.

padahal undang-undang ini sudah sering di protes karena dalam undang-undang ini aturannya terkesan tidak jelas. karena tidak disertakannya sanksi dalam regulasi yang diatur dalam undang-undang ini sehingga dalam penerapannya menjadi amburadul dan tidak pro pada kaum buruh. ironisnya lagi, kemenakertrans menyatakan bahwa undang-undang ini keliru ketika dibuat, dan ketika kemenakertrans mengajukan revisi atas undang-undang no. 13 tahun 2003 ini untuk memasukkan pasal sanksi, DPR malah menolaknya.

dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pemerintah saat ini sudah benar-benar lupa akan tujuan awal didirikannya negara ini oleh para pahlawan bangsa kita. pemerintah lebih suka mengurusi hal-hal sepele yang belum tentu jelas kenyataannya. nasib buruh yang jumlahnya jutaan seakan tidak ada harganya. kesejahteraan yang harusnya mereka rasakan semakin jauh dari kenyataan.

jangankan mengurusi rakyat, penguasa negeri ini lebih fokus pada dirinya sendiri. lihat saja jumlah kasus korupsi di indonesia. ditahun ini saja polri sudah menangani 855 kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. pemerintah harusnya juga fokus pada persoalan ini. 1000 triliun dari total 1600 triliun APBN adalah uang rakyat. harusnya amanah ini di jaga dengan memfungsikannya secara baik-baik. rakyat sudah sukarela membayar pajak yang menjadi kewajiban mereka. ketika hak mereka untuk sejahtera tidak terpenuhi, lalu untuk apa mereka melakukan kewajiban membayar pajak. ini sama saja rakyat sekarang ini di jajah oleh penguasa dari bangsanya sendiri.

karakter penjajah adalah mengeruk segala keuntungan dari pihak yang di jajah apapun caranya. kalo dicermati, penguasa saat ini memiliki karakter itu. mereka mengeruk keuntungan dengan cara korupsi untuk mengkayakan diri mereka. mereka tidak memperdulikan teriakan-teriakan para buruh yang berteriak-teriak meminta kesejahteraan. bahkan dengan santainya mereka membuat RUU KAMNAS yang isinya nanti bisa melegitimasi TNI untuk melakukan tindakan represif ketika rakyat bersuara lantang meminta hak mereka. apakah ini yang di cita-citakan oleh para pahlawan terdahulu?.

dalam momentum hari pahlawan ini, kami meminta dengan hormat kepada para penguasa untuk merenungi kembali apa yang menjadi tujuan para pahlawan ketika memerdekakan negeri ini. dan kemudian mengambil langkah kongkrit dimulai dengan menolak RUU KAMNAS, memperbarui regulasi dan aturan tenaga kerja, serta mempertegas kembali pemberantasan korupsi di negeri ini. Laksanakan kebijakan yang pro-rakyat, lanjutkan perjuangan para pahlawan terdahulu. dan jangan khianati darah juang yang telah tertumpah di bumi pertiwi ini demi mempersembahkan kehidupan merdeka seperti saat ini.


Baca Selengkapnya ....

Press release Refleksi Hari Pahlawan; Lawan penghianatan penguasa atas darah juang pahlawan

Posted by Amar Suteja 0 komentar
Peringatan hari pahlwan adalah penghargaan kecil kita kepada para pahlawan yang telah mengorbankan hidup mereka untuk menyelamatkan kehidupan kita. Proklamator kita pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat pahlawannya. kalimat tersebut mengandung makna tersirat bahwa para penerus bangsa ini harus senantiasa ingat apa tujuan para pahlawan memerdekakan negeri ini. para penerus pahlawan yang hari ini menjadi penentu arah bangsa sebagai pejabat negara yang dipilih oleh rakyat harus ingat apa alasan para pahlawan yang tanpa mempedulikan diri mereka yang tak memiliki perlengkapan untuk melindungi diri, meyeruak membabi buta melawan segala kezhaliman bangsa penjajah. pemegang kebijakan negeri ini melalui kalimat yang di ucapkan proklamator kita diminta untuk meneruskan cita-cita para pejuang : LAWAN SEGALA BENTUK PENINDASAN.

Semua daya mereka upayakan agar tercipta generasi merdeka yang hidup bersama, bersatu dalam kesejahteraan dan keadilan. Berlangsungnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya merupakan rangkaian perjuangan panjang dan heroik. Karena memerlukan pengorbanan luar biasa dari para pejuang. Baik jiwa, raga maupun harta benda dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia.

Sekarang mari lihat bangsa kita dewasa ini, betapa ironis kenyataan yang ada. pengurus negeri ini yang seharusnya menjadi pelayan rakyat malah menjadi penguasa bagi rakyat. isu tentang RUU KAMNAS yang di usulkan pemerintah adalah bukti nyata bahwa pemerintah saat ini sudah melupakan tujuan para pahlawan ketika berjuang memerdekakan negeri ini. seharusnya pemerintah lebih fokus untuk mensejahterakan rakyat, seperti para buruh. UU tentang tenaga kerja yang harusnya menjadi prioritas utama. daripada sibuk berdebat tentang isi pasal RUU KAMNAS yang tidak jelas urgensinya, lebih baik pemerintah membahas peran Polri dan KPK untuk membersihkan korupsi di negeri ini yang sudah sangat kongkrit buktinya.

Untuk itu, di dalam momentum peringatan hari pahlawan ini, kami Massa Gabungan Sekretariat bersama refleksi hari pahlawan (Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya, dan Left Democratic Force (LDF) Surabaya) menuntut kepada pemerintah untuk lebih peduli kepada rakyat sesuai dengan semangat perjuangan pahlawan dengan langkah kongkrit :

- Tolak RUU KAMNAS

- Perbarui regulasi dan aturan tentang tenaga kerja.

- Pertegas Pemberantasan Korupsi.


Sekretariat Bersama Refleksi Hari Pahlawan, contact person: 0857 333 00 675 ( Amar Suteja )

Baca Selengkapnya ....

Pengurus Pusat LDF

Posted by Amar Suteja Rabu, 05 Desember 2012 0 komentar


Baca Selengkapnya ....

Tweet Us!

You May See This !

Trik SEO Terbaru support Online Shop Baju Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Left Democratic Force (LDF).