Tiga Fase Imperialisme

Posted by Amar Suteja Senin, 10 Desember 2012 0 komentar
Untuk mengawali proses analisis dalam sistem kapitalisme global perspektif
ekonomi-politik, maka menurut hemat penulis perlu diuraikan mulai dari akar
masalahnya. Berikut ini penulis uraikan sejarah imperialisme yang dipaparkan oleh Noam
Chomsky,1 dan selanjutnya penulis kaitkan dengan logika terjadinya proses sistemik
dalam perspektif ekonomi-politik yang kemudian terjadi masalah sosial dalam era neoliberalisme.
Menurut Noam Chomsky, bahwa sepanjang beberapa dekade imperialisme
telah menjadi bahan perdebatan serius diantara kalangan pemikir dan para pegiat gerakan
revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm dan Vladimir
Lenin adalah diantara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang
meneorisasikan imperialisme. Seorang penggerak revolusi Rusia, Vladimir Ilyich
mengaitkan antara imperialisme dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin,
imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan
kapitalisme. Imperialisme lahir dari suatu krisis kapitalisme dari suatu negeri. Agar
keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru,
mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahanbahan
mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. Dalam pandangan Lenin,
imperialisme dicirikan oleh lima hal, pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk
konglomerasi maupun monopoli; kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri
dan birokrasi; ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi industrial, keempat,
pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan korporasi
transnasional melalui kartel internasional; kelima, pembagian politik dunia oleh negaranegara
maju. Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah meletakkan bangunan
teori imperialisme yang penting dalam perdebatan selanjutnya, utamanya pengaitannya
dengan kapitalisme dan perkembangan kapital finans.

Pendekatan Lenin atas imperialisme ini salah satunya dikritik oleh Samir Amin,
seorang Marxis berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan
tahap, melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya
imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga.
Fase pertama terjadi pada masa ekspansi kapital Eropa Atlantis yang
menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris. Hasil
yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya peradaban Indian,
terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida total atas masyarakat Indian, dimana
negara Amerika Serikat berdiri diatasnya. Penaklukan ini masih dibumbui oleh kehendak
untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama. Imperialisasi tahap pertama ini
pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan seperti pemberontakan kaum budak di
Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba.

Fase kedua terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada
penaklukan Asia dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk berupaya untuk
mencari dan membuka ‘pasar baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil Jhon Rhodes adalah
salah satu figur pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa
kolonialisme Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan
menghindarkan revolusi sosial di dalam negeri. Imperialisme fase kedua ini berakibat
pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus dihadapi oleh dunia
hingga kini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan adalah dua berbanding satu,
maka sejak terjadinya kolonilaisme hingga saat ini rasio ketidaksetaraan ini menjadi
enampuluh berbanding satu, dengan sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa
mengambil keuntungan dari sistem yang terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup
dalam ketidakpastian dan ketidaksamaan sosio-ekonomi secara persisten. Imperialisme
fase kedua ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk
mempertahankan koloninya. Namun juga mengahsilkan berbagai perlawanan yang terus
menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di Rusia dan
China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di negara-negara Asia dan
Afrika.

Kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas
menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang
diantaranya merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis
serta negara kapitalis baru yang muncul pada Abad ke-19 seperti Jerman, Amerika
Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’ ini. Kaum
imperealis ini segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis
mereka sangat tergantung dari berapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi.
Dengan keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya dan memiliki
sumber daya manusia serta tehnologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus
dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni.
Saat ini sedang memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya
sistem Soviet dan rezim-rezim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada dasarnya, tujuan
dari imperealisme fase ini masih sama dengan fase-fase sebelumnya, yaitu untuk
mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan mengekspansi pasar baru, menjarah
sumber daya agraria, dan melakukan supereksploitasi pada tenaga kerja di negara-negara
pinggiran. Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk megukuhkan hegemoni
imperialisme tahap ketiga ini, diataranya dengan menggembar-gemborkan demokrasi,
humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang
bersih dan baik. Tetapi wacana-wacana ini dikerjakan oleh model standar ganda dan
hanya dilakukan demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada
negara-negara pinggiran.

Fase ketiga ini juga berhadapan dengan suatu zaman yang dicirikan oleh
terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi
dengan globalisasi teknologi informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi
seperti: meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dan perdagangan
global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat yang
berbasis jaringan (network sosiety), menguatnya peranan-peranan lembaga keuangan
internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui negara-bangsa,
membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam memandang tatanan
global pada zaman ini. Sebagian mendefinisikan tatanan global ini dengan cara pandang
baru, sembari mendeklarasikan suatu zaman ‘pos-imperealis’. Sementara yang lain
berpendapat bahwa imperialisme tak pernah berakhir, hanya memakai modus baru
dengan motif lama yang tetap sama. Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol
baru.

Dalam perspektif ekonomi-politik imperialisme ini berkaitan erat dengan sejarah
perkembangan kapitalisme dan proses panjang transformasi masyarakat dari masyarakat
feodal ke masyarakat modern, atau sering disebut pada masa kini dengan era globalisasi.
Globalisasi inilah yang kemudian berdampak pada krisis masyarakat kapitalisme.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Tiga Fase Imperialisme
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://leftdemocraticforce.blogspot.com/2012/12/tiga-fase-imperialisme.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Tweet Us!

You May See This !

Trik SEO Terbaru support Online Shop Baju Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Left Democratic Force (LDF).